![]() |
Lontong Pecal, Salah Satu Masakan Indonesia |
Kesadaran untuk membangun kuliner nasional mulai menggejala pada awal kemerdekaan, Namun bahan-bahan dasar pembentukan kuliner nasional sebenarnya telah dimulai pada abad ke-19. Para perempuan Belanda dan Indonesia yang selera masak dan cara makannya banyak dipengaruhi oleh tradisi gastronomi (tata boga) Prancis mulai melakukan improvisasi kuliner. Segelintir diantaranya lantas menjadi “ratu dapur” yang memengaruhi perubahan selera masyarakat kolonial. Mereka menuliskan resep-resep kreasinya, menghimpunnya lalu menerbitkannya menjadi buku-buku masak populer yang dijadikan sebagai panduan bagi para pembacanya.
Sosok perempuan yang ikut menaruh perhatian yang besar terhadap dunia kuliner, salah satunya ialah Kardinah. Pada 1916 Kardinah membuka sekolah Wismo Pranowo (rumah yang meluaskan pandangan) di Tegal. Setelah menikah dengan Bupati Tegal Rekso Negoro–kemudian ia bergelar Raden Ayu Adipati Rekso Negoro, adik Kartini ini memberikan pelajaran bagi anak-anak perempuan. Kardinah banyak menulis buku kecil praktis tentang pengetahuan memasak yang ditujukan untuk memajukan kaum perempuan Bumiputera. Bukan hal baru bagi Kardinah untuk memahami pengetahuan memasak, karena sejak sang kakak masih hidup pun ia telah memiliki gairah besar terhadap seni memasak. Pada 1918, ia menerbitkan sebanyak dua jilid buku masak dengan judul Lajang Panoentoen Bab Olah-Olah, ing Pamoelangan Wisma-Pranawa ing Tegal sebagai bahan ajar di sekolahnya. Pada 1936 ia juga menerbitkan buku Lajang Panoentoen Bab Olah-Olah Kanggo para Wanita.
Bukan hanya Kardinah, para perempuan Bumiputera lainnya yang berlatar ragam budaya sejak awal abad ke-20 juga menulis buku-buku masaknya berdasarkan bahasa ibunya sendiri. Misalnya ada Nyai Djamah yang menulis buku masak berbahasa Sunda Boekoe Batjaan Roepa2 Kaolahan Aoseun Maroerangkalih Istri (1916); R. A. Soewarsi menulis buku masak berbahasa Jawa Boekoe Olah-Olah: Isi Pitedah Pangolahipen; Lelawoehan lan Dedaharan Kawewahan (1937) dan Boekoe Olah-Olah: Olah-Olahan Daharan Tjara Walandi (1938); serta dalam bahasa Melayu ada S. Noer Zainoe’ddin- Moro menulis Lingkoengan Dapoer: Boekoe Masak bagi Meisjes-Vervolgscholen jang Berbahasa Melajoe (1941). Beragam bahasa pun dipakai untuk menuliskan resep masakan. Namun dapat dilihat kenyataan bahwa yang berubah dari fenomena kuliner di Indonesia pada masa pascakolonial hanya perubahan pada tampilan luarnya saja. Adapun intisarinya tetap menjiwai “hegemoni selera” yang distandarkan ideal pada masa kolonial. Konsep makanan yang dibangun secara nasional hanya membalikkan dominasi kolonial dari Indische keuken (kuliner Hindia) menjadi makanan Indonesia. Demi meneguhkan identitas sendiri maka disajikanlah citra makanan Indonesia dengan kesan lebih dominan dibandingkan makanan Eropa.
Memasuki dasawarsa 1940-an, pamor Indische keuken mulai meredup. Selain masa-masa sulit (Malaise), masa Pendudukan Jepang 1942-1945 memunculkan dekolonisasi terhadap berbagai budaya Belanda di Indonesia. Jepang melalui Hodoka (lembaga yang mengawasi penerbitan media) sangat ketat dalam menyensor layak atau tidaknya media apa pun terbit. Buku-buku masak yang memuat citra selera Eropa pun tidak luput dari sensornya. Jangankan buku masak karya orang Belanda; buku masak karya orang Bumiputera pun tidak lepas dari sensornya jika memuat resep-resep bercitra Eropa (Rahman, 2016: 213-214). Kondisi itu turut menentukan pembentukan baru citra kuliner di Indonesia. Selain diwarnai kesibukan para ahli pertanian, ahli gizi, dan tokoh nasional dalam memikirkan strategi dalam mengatasai masalah pangan, ketika itu mulai muncul hasrat menampilkan identitas kebangsaan melalui kuliner.
Seorang tokoh pergerakan perempuan dari Sumatra Barat, Rangkajo Chailan Sjamsu Datuk Toemenggoeng (singkatnya Chailan Sjamsu), adalah sosok yang patut diketengahkan terkait perannya dalam merumuskan konsep “makanan Indonesia”. Dalam karyanya Boekoe Masak-Masakan yang terbit perdana pada 1940 dan diterbitkan ulang tahun 1948, tersirat mengenai rasa nasionalisme yang lebih ditekankan dari pada “rasa kolonial” Indische keuken. Chailan Sjamsu mendorong pembacanya dari kalangan rakyat Indonesia agar memberdayakan bahan-bahan lokal untuk membuat olahan aneka makanan kue dan masakan. Buku masak Chailan Sjamsu juga lebih banyak memasukkan variasi makanan dan kue- kue Indonesia.
Hal ini jelas mewakili rasa
nasionalisme Chailan Sjamsu. Selain terobsesi ingin mewujudkan kuliner
nasional, ia juga menampilkan kelompok resep bercitarasa daerah yang mencakup
Sumatra, Jawa dan Madura, Sunda, serta Borneo dan Sulawesi Selatan. Apabila
semua resep Indonesia dihimpun, jumlah totalnya 204 resep. Ini jauh dengan
jumlah gabungan resep Eropa, Tionghoa, Arab, dan India yang hanya 76 resep.
Jelas komposisi ini adalah hal yang baru dilakukan oleh seorang gastronom
Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Sepintas pengelompokkan yang dibuat
Chailan Sjamsu adalah reproduksi Indische keuken dalam label baru. Namun jika
menilik bahan-bahan yang dipakai dan banyaknya jumlah resep Indonesia
dibandingkan resep-resep asing, dugaan itu tidak sepenuhnya tepat.
Pada masa kemerdekaan, gastronom seperti Chailan Sjamsu justru berusaha
mengubur segala gaya hidup kolonial dalam hal kemewahan makanan. Secara tidak
langsung, ia juga ingin menyadarkan rakyat Indonesia di berbagai daerah untuk
bangga terhadap makanannya sendiri. Kesadarannya menampilkan resep-resep
makanan daerah di Indonesia pun mungkin tidak lepas dari pemikirannya
bahwa setiap makanan, pada mulanya adalah “makanan daerah”. Makanan daerah
sendiri lahir sebagai respons terhadap iklim, sumber daya, dan kebiasaan
setiap kelompok orang di daerahnya masing-masing.
Dengan kata lain, ia ingin menyadarkan pembacanya di berbagai daerah agar mampu memberdayakan potensi sumber daya bahan makanan untuk dapat diolah menjadi kuliner lezat. Selain itu Chailan Sjamsu melakukan seleksi beberapa makanan di setiap daerah agar dapat hadir dalam lingkup “hidangan makanan Indonesia”. Dapat diartikan ia mendorong pembacanya agar dapat saling menerima makanan antar daerah. Misalnya, pembaca di Manado bisa membuat sendiri dan menikmati rawon daging dan pecel dari Jawa. Begitupun sebaliknya, pembaca di Jawa dapat membuat sendiri dan menikmati rica-rica dan ayam isi dibulu dari Manado. Peralihan dari masa kolonial ke masa kemerdekaan memang membawa perubahan paradigma dalam berbagai aspek kehidupan. Sepanjang 1950-an, pemerintah dan gastronom berusaha mengembangkan makanan di Indonesia dalam perspektif baru.
Era sekarang:
Kuliner makanan menjadi hal yang seksi untuk dikaji apalagi dengan perkembangan zaman yang semakin kekinian dan dengan alat bantu teknologi yang semakin canggih dapat memudahkan usaha kuliner terus berkembang pesat. Kemudian ketertarikan masak-memasak bukan hanya diminati oleh kalangan perempuan saja bahkan kalangan laki-laki juga berbakat melakukannya.
Usaha kuliner merupakan usaha yang menjanjikan setelah usaha property. Sehingga berbagai kalangan berlomba-lomba mencari keunikan dan menyajikan cita rasa yang bervariasi untuk menggaet masyarakat agar tertarik kepada produk olahannya. Namun begitu, alangkah baiknya jika usaha kuliner di Indonesia ditumbuhkan atas kesadaran bangsa Indonesia dalam membayangkan konsep kuliner nasionalnya, agar usaha yang didasarkan dari konsep kuliner lokal menembus sampai ke ranah pasar international.
Untuk penulisannya kakak uda bagus kok. Uda lumayan bisa menarik bacaan dari kacamata perapektif Antropologi. Memang benar bahwa Kesadaran Untuk Lebih memperdalam kuliner dalam negeri juga lebih seharusnya diutamakan untuk selain menjaga kearifan lokal suatu wilayah juga menjadi ciri identitas tersendiri didalamnya. Tetapi terkadang generasi milenial sekarang ini lebih tertarik yang serba instan karena adanya invasi kuliner yg berasal dr western. Padahal kuliner lokal jauh lebih lezat bila diolah dengan baik. Terimakasih kak atas tulisannya
BalasHapusSama-sama dek. Terimakasih juga sudah berkunjung☺️
Hapus